Saturday, 29 November 2014

KOMEN ULAMA TERDAHULU MENGENAI KITAB IHYAULUMUDIN

KHUSUS UNTUK PARA PENYEBAR KITAB IHYA ULUMUDIN

Imam adz-Dzahabi menyatakan bahawa al-Ghazali berkata:وَذَهَبت الصُّوْفِيَّةُ إِلَى العُلُوْمِ الإِلهَامِيَة دُوْنَالتَّعليمِيَة، فَيجلس فَارغَ القَلْب، مجموعَ الهَمِّ يَقُوْلُ:اللهُ اللهُ اللهُ عَلَى الدَّوَام، فَلْيُفَرِّغ قَلْبَهُ، وَلاَ يَشتغِلْ بِتِلاَوَة وَلاَ كتب حَدِيْث. قَالَ: فَإِذَا بلغَ هَذَا الحدّ، الْتزمالخلوَةَ فِي بَيْت مُظْلِمٍ وَتَدَثَّرَ كسَائِهِ، فَحِيْنَئِذٍ يَسْمَعُ نِدَاءَ الحَقّ :{يَا أَيُّهَا المُدَّثِّرُ}وَ {يَا أَيُّهَا المُزَّمِّلُ }. قُلْتُ:سَيِّدُ الخلقِ إِنَّمَا سَمِعَ {يَا أَيُّهَا المُدَّثِّرُ} مِنْ جِبْرِيْل عَنِ اللهِ، وَهَذَا الأَحْمَقُ لَمْ يَسْمَعْ نِدَاء الحَقِّ أَبَداً، بَلْ سَمِعَ شيطَاناً، أَوْ سَمِعَ شَيْئاً لاَ حقيقَةً مِنْ طَيش دِمَاغِه، وَالتَّوفِيقُ فِي الاعتصَام بِالسُّنَّةِ وَالإِجْمَاع“Para sufi berpegang pada ilmu ilhami (ilham/firasat), bukan ilmu ta’limi (yang dipelajari). Beliau duduk dengan mengosongkanhati dan penuh harapan dengan berkata, “Allah, Allah, Allah,” dengan terus-menerus. Beliau mengosongkan hatinya, tidak disibukkan denganmembaca dan menulis hadis.” Beliau juga berkata, “Sekiranya beliau telah mencapai batasan ini, beliau sentiasa menyepi di dalam rumah gelap dan berselimut dengan pakaiannya. Pada ketika itu beliau mendengar panggilan al-Haq (seruan kebenaran), “Wahai orang yang berselimut (al-Muddatstsir),” dan “Wahai orang yang berselimut (al-Muzammil).”.”Aku katakan (adz-Dzahabi memberi komentar tentang perkataan al-Ghazali tersebut), “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mendengar “Ya Ayyuhal Muddatstsir” daripada Jibril iaitu Jibril yang diutuskan oleh Allah (dengan membawa Kalamullah). Orang bodoh ini sekali-kali tidak akan mendengar panggilan al-Haq selamanya, tetapi apa yang dia dengar adalah daripada syaitan atau mendengar sesuatu yang tiada asal-usulnya, iaitu khyalannya semata-mata. Pertolongan hanya dapat diperolehi daripada as-Sunnah dan ijma’ (kesepakatan salaf).” (Siyar A’lam an-Nubala’, 19/333-334)

Wednesday, 26 November 2014

KESESATAN SUFI,TAREKAT&TASAWUF

Kesesatan Sufi, Tarekat, Tasawuf

Sufi atau Tarekat atau Tasawuf selama ini banyak difahami sebagai ajaran yang menggambarkan kesederhanaan, kezuhudan ataupun kehidupan yang nyaris tak tersentuh ‘peradaban’.
Menilik sejarahnya, nama sufi sebenarnya nisbat dari sekelompok manusia yang beribadah secara berlebihan, dengan berbagai tata cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah.

Tasawuf digambarkan dengan sikap berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia.

Penganutnya disebut Shufi selanjutnya ditulis Sufi menurut ejaan yang lazim, dan jamaknya adalah Sufiyyah. Istilah ini sesungguhnya tidak masyhur di zaman Rasulullah SAW, shahabat-shahabatnya, dan para tabi’in.

Sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam: “Adapun lafadz Sufiyyah bukanlah lafadz yang masyhur pada tiga abad pertama Islam. Dan setelah masa itu, penyebutannya menjadi masyhur.”
(Majmu’ Fatawa, 11/5)

Ibnu ‘Ajibah, seorang Sufi Fathimiyah, mengesahkan bahwa peletak Tasawuf adalah Rasulullah Saw sendiri. Baginda Saw, menurut Ibnu ‘Ajibah, mendapatkannya dari Allah SWT melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang lebar tentang hal ini dengan sekian banyak perkara2 aneh dan dusta, yaitu: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah Saw dengan membawa ilmu syariat. Ketika ilmu itu telah mantap, turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Baginda Saw pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khusus saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah ‘Ali bin Abi Thalib Ra (sahabat) dan Hasan Al-Bashri Rhm (tabi'in) menimba darinya.”
(Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal. 5 dinukil dari At-Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal.7-8)

Asy-Syaikh Muhammad Aman bin ‘Ali Al-Jami Rhm berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi biadap terhadap Rasulullah Saw. Dengan berdusta, dia menuduh bahwa baginda Saw menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu.

Karena Allah SWT telah memerintahkan Rasul-Nya SAW untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya:
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu. Dan jika engkau tidak melakukannya, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.”
(Al Maidah: 67)

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa Tasawuf bukan ajaran Rasulullah Saw dan bukan pula ilmu warisan dari ‘Ali bin Abi Thalib Ra, juga bukan dari Hasan al-Basri. Lalu dari manakah ajaran Tasawuf ini?

Asy-Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir Rhm berkata: “Ketika kita jejakii ajaran Sufi period pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka kita dapati sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia, Muhammad SAW dan para shahabatnya yang mulia lagi baik, yang mereka adalah makhluk-makhluk pilihan Allah SWT di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi, dan zuhud Budha.”
(At-Tashawwuf Al-Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28)

Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Wakil Rhm berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu-daya syaitan yang paling tercela lagi hina untuk menggiring hamba-hamba Allah di dalam memerangi Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Tasawuf merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh yakni Sufi, didalam memerangi agama Islam yang benar ini. Periksalah ajarannya! Niscaya engkau akan mendapati di dalamnya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.”
(Muqaddimah kitab Mashra’ut Tasawuf, hal. 19)

Di antara sekian banyak kesesatan ajaran Tasawuf adalah:

1. Wahdatul Wujud, yakni keyakinan bahwa Allah menyatu dengan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Demikian juga Al-Hulul, yakni keyakinan bahwa Allah dapat masuk ke dalam makhluk-Nya.

Al-Hallaj, seorang penyebar sufi, berkata: “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang (yang sedang) makan dan minum.”
(Dinukil dari Firaq Al-Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Iwaji, 2/600)

Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata: “Seorang hamba adalah Rabb dan Rabb adalah hamba.
Dengan ini, siapakah yang diberi kewajiban beramal? Jika engkau katakan hamba, maka ia adalah Rabb. Atau engkau katakan Rabb, kalau begitu siapa yang diberi kewajiban?”
(Al-Futuhat Al-Makkiyyah dinukil dari Firaq Al-Mu’ashirah, hal. 601)

Muhammad Sayyid At-Tijani meriwayatkan (secara dusta) dari Nabi bahwasanya beliau bersabda: “Aku melihat Rabbku dalam bentuk seorang pemuda.” 
(Jawahirul Ma’ani, karya ‘Ali Harazim, 1/197, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hal. 615)

2.  Seorang yang menyetubuhi istrinya, tidak lain ia menyetubuhi Allah SWT.

Ibnu ‘Arabi berkata: “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah!”
(Fushushul Hikam)

3. Keyakinan kafir bahwa Allah SWT adalah makhluk dan makhluk adalah Allah SWT, masing-masing saling menyembah kepada yang lainnya.

Ibnu ‘Arabi berkata: “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya. Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.”
(Al-Futuhat Al-Makkiyyah)

4. Keyakinan bahwa tidak ada perbedaan di antara agama-agama yang ada.

Ibnu ‘Arabi berkata: “Sebelumnya aku mengingkari kawanku yang berbeda agama denganku. Namun kini hatiku bisa menerima semua keadaan, tempat gembala rusa dan gereja pendeta, tempat berhala dan Ka’bah, lembaran-lembaran Taurat dan Mushaf Al Qur’an.”
(Al-Futuhat Al-Makkiyyah).

Jalaluddin Ar-Rumi, berkata: “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti. Bagiku, tempat ibadah adalah sama masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.”

5. Bolehnya menolak hadits yang jelas-jelas shahih.

Ibnu ‘Arabi berkata, kadangkala suatu hadits shahih yang diriwayatkan oleh para perawinya, tampak hakikat keadaannya oleh seseorang mukasyaf (Sufi yang mengetahui ilmu ghaib dan batin). Ia bertanya kepada Nabi secara langsung: “Apakah engkau mengatakannya?”
Maka Nabi mengingkari seraya berkata: “Aku belum pernah mengatakannya dan belum pernah menghukuminya dengan shahih.”
Maka diketahui dari sini lemahnya hadits tersebut dan tidak boleh diamalkan sebagaimana keterangan dari Rabbnya walaupun para ulama mengamalkan berdasarkan isnadnya yang shahih.
(Al-Futuhat Al-Makkiyah).

6. Pembagian ilmu menjadi syariat dan hakikat.

Di mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah. Oleh karena itu, menurut keyakinan Sufi, gugur baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini. Mereka berdalil dengan firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99: yang mana mereka terjemahkan dengan: “Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu keyakinan.”

Syaikhul Islam berkata: “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman, bahwa perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kafir dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nasrani karena Yahudi dan Nasrani beriman dengan sebagian isi Al Kitab dan mengkufuri sebagian lainnya. Sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini).”
(Majmu’ Fatawa, 11/401)

Syaikhul Islam berkata: “Adapun dalil mereka dengan ayat tersebut, maka justru merupakan bumerang bagi mereka.

Hasan Al-Basri Rhm berkata: ‘Sesungguhnya Allah SWT tidak menjadikan batas akhir beramal bagi orang-orang beriman selain kematian’, kemudian beliau membaca Al Qur’an Surat Al-Hijr ayat 99, yang artinya: ‘Dan beribadahlah kepada Rabbmu hingga datang kepadamu kematian'

Beliau melanjutkan: “Dan bahwasanya ‘Al-Yaqin’ di sini bermakna kematian dan setelahnya, dengan kesepakatan ulama kaum muslimin.”
(Majmu Fatawa, 11/418)

7. Keyakinan bahwa ibadah kepada Allah SWT itu bukan karena takut dari azab Allah SWT (an-naar/ neraka) dan bukan pula mengharap jannah Allah SWT.

Padahal Allah SWT berfirman:
“Dan peliharalah diri kalian dari an-naar (api neraka) yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”
(‘Ali Imran: 131)

“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan dari Rabb kalian dan kepada jannah (surga) yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.”
(‘Ali Imran: 133)

8. Dzikirnya orang-orang awam adalah Laa ilaha ilallah, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah "Allah", "huwa" dibaca: "huu" dan "aah" saja.

Padahal Rasulullah SAW bersabda:
“Sebaik-baik dzikir adalah Laa ilaha ilallah.”
(HR. At-Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah Ra, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’, no. 1104).

Syaikhul Islam berkata: “Barangsiapa beranggapan bahwa Laa ilaha ilallah adalah dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah "Huwa", maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.”
(Risalah Al-‘Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tasawuf, hal. 13)

9. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu kasyaf (yang dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib.

Allah dustakan mereka dalam firman-Nya:
“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.”
(An-Naml: 65)

10. Keyakinan bahwa Allah SWT menciptakan Nabi Muhammad SAW dari nur (cahaya-Nya) dan Allah ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad SAW.

Padahal Allah berfirman :
“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …”
(Al-Kahfi: 110)

“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.”
(Shad: 71)

11. Keyakinan bahwa Allah SWT menciptakan dunia ini kerana Nabi Muhammad.

Padahal Allah berfirman:
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
(Adz-Dzariyat: 56)

Keterangan para ulama di atas menunjukkan bahwa ajaran Sufi @ Tarekat @ Tasawuf bukan dari Islam. Bahkan ajaran ini merupakan kumpulan dari ajaran-ajaran sesat yang berusaha disusupkan ke tengah-tengah umat untuk menjauhkan mereka dari agama Islam yang benar.

Monday, 24 November 2014

Rafidah,ghasidah,jalandah...

Sejarah Qasidah Burdah

Qasidah Burdah dikarang oleh Imam al-Busiri yang dilahirkan pada tahun 610 Hijrah (1213 Masehi) dan meninggal dunia pada tahun 695 Hijrah (1296 Masehi). Beliau telah diasuh8 oleh ayahandanya sendiri dalam mempelajari al-Quran dan ilmu pengetahuan yang lain. Untuk memperdalamkan lagi ilmu agama dan kesusasteraan Arab, Imam al-Busiri lalu berhijrah ke Kaherah. Di Kaherah, Imam al-Busiri menjadi seorang sasterawan dan penyair yang ulung. Kemahirannya didalam bidang syair mengatasi para penyair lain dizamannya. Karya-karya kaligrafinya juga terkenal dengan keindahannya. Gurunya yang paling utama ialah Abdul Abbas al-Mursi yang merupakan anak murid kepada pengasas tariqat Shazili iaitu Imam Abul Hasan as-Shazili.

Thursday, 20 November 2014

Pembetulan Sirah Islam

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rah berkata:
"Sesungguhnya Dahlan bukanlah seorang yg Ahli dibidang Hadits, Sejarah, dan Ilmu Kalam.Dia hanyalah Taqlid kpd orang-orang yg juga Taqlid dan hanya Menukil dari kitab2 Mutaakhirin.."
[al A'lam 1/129-130 oleh az Zirikli].

Kitab2 Dahlan diantaranya:
1.kitab Khulashatul Kalam.
2.Kitab Fitnah al Wahhabiyyah.
3.Ad Durar as Saniyyah fi ar Raddi' 'Ala al Wahhabiyyah.
Kitab2 yg berisi Kedustaan2 yg Keji & Mungkar.

Sumber Rujukan dinukil dari:
Buku "Meluruskan Sejarah WAHHABI"/Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as Sidawi/Pustaka al Furqon.

Buku Ahmad Zaini Dahlan yang dijadikan rujukan, sebenarnya dari awal sampai akhir telah dibantah oleh ulama besar ahli hadits asal India, Syaikh Muhammad Basyir As-Sahsawani rah. dalam sebuah kitab yang beliau beri judul, “Shiyanatul Insan ‘an Waswasati Syaikh Dahlan”, yang ertinya, “Penjagaan Terhadap Manusia dari Bisikan-bisikan Ahmad Zaini Dahlan” yang diberikan kata pengantar oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rah. wa ghafara lahu dari Mesir, pada salah satu cetakannya. Kesimpulan dari bantahan beliau kepada Dahlan,

“BAHWA SEMUA TUDUHAN DAHLAN HANYALAH KEDUSTAAN TANPA DIRAGUKAN LAGI, HAL INI DAPAT DIKETAHUI BAGI MEREKA YANG MEMILIKI SECUIL IMAN, ILMU DAN AKAL.”
(Shiyanatul Insan, hal. 485, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 226)

Karena terlalu banyak dusta Ahmad Zaini Dahlan, sampai-sampai Syaikh Mas’ud An-Nadwi rahimahullah (juga ulama India, bukan ulama Saudi) berkata, “Adapun Ahmad Zaini Dahlan (1204 H/1886 M), maka seakan-akan dia mendekatkan diri (ibadah) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan memusuhi jamaah ini, dan sungguh dia telah melemparkan tuduhan-tuduhan ini berulang kali.”
(Muhammad bin Abdul Wahhab Muslihun Mazlumun wa Muftara ‘Alaihi, hal. 204)

Syaikh Muhammad Basyir As-Sahsawi rah. memaparkan hasil pertemuan langsung dan penelitian beliau terhadap kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rah. da
n murid-muridnya. Beliau berkata,

“Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan pengikut-pengikutnya tidak pernah sekalipun mengkafirkan seorang muslim. Mereka juga tidak pernah berkeyakinan bahwa kaum muslimin hanya mereka saja sedangkan yang berbeda dengan mereka semuanya musyrik. Mereka juga tidak pernah menhalalkan pembunuhan terhadap Ahlus Sunnah dan menawan wanita-wanita mereka. Sungguh aku telah berjumpa dengan lebih dari satu ulama pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, aku juga telah banyak menelaah buku-buku mereka, aku tidak menemukan adanya penyimpangan-penyimpangan ini lebih pada sumbernya maupun pengaruhnya. Ini semua hanyalah fitnah dan dusta.”
(Shiyanatul Insan,  hal. 486, sebagaimana dalam Da’awa Al-Munawiin, hal. 226)