Belakangan
ketika isu terorisme kian dihujamkan di jantung pergerakan Ummat
Islam agar iklim pergerakan dakwah terkapar lemah tak berdaya. Nama
Wahabi menjadi salah satu faham yang disorot dan kian menjadi
bulan-bulanan aksi “tunjuk hidung,” bahkan hal itu dilakukan oleh
kalangan ustadz dan kiyai yang berasal dari tubuh Ummat Islam itu
sendiri.
Beberapa
buku propaganda pun diterbitkan untuk menghantam pergerakan yang
dituding Wahabi, di antaranya buku hitam berjudul “Sejarah Berdarah
Sekte Salafi-Wahabi: Mereka Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.”
Bertubi-tubi, berbagai tudingan dialamatkan oleh alumnus dari
Universitas di Bawah Naungan Kerajaan Ibnu Saud yang berhaluan
Wahabi, yaitu Prof. Dr. Said Siradj, MA. Tak mau kalah, para kiyai
dari pelosok pun ikut-ikutan menghujat siapapun yang dituding Wahabi.
Kasus terakhir adalah statement dari kiyai Muhammad Bukhori Maulana
dalam tabligh akbar FOSWAN di Bekasi baru-baru ini turut pula
menyerang Wahabi dengan tudingan miring. Benarkah tudingan tersebut?
Menarik
memang menyaksikan fenomena tersebut. Gelagat pembunuhan karakter
terhadap dakwah atau personal pengikut Wahabi ini bukan hal baru,
melainkan telah lama terjadi. Hal ini bahkan telah diurai dengan
lengkap oleh ulama pejuang dan mantan ketua MUI yang paling
karismatik, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa
disapa Buya HAMKA. Siapa tak mengenal Buya HAMKA? Kegigihan,
keteguhan dan independensinya sebagai seorang ulama tidak perlu
diragukan lagi tentunya.
Dalam
buku “Dari Perbendaharaan Lama,” Buya HAMKA dengan gamblang
beliau merinci berbagai fitnah terhadap Wahabi di Indonesia sejatinya
telah berlangsung berkali-kali. Sejak Masa Penjajahan hingga beberapa
kali Pemilihan Umum yang diselenggarakan pada era Orde Lama, Wahabi
seringkali menjadi objek perjuangan yang ditikam fitnah dan
diupayakan penghapusan atas eksistensinya. Mari kita cermati apa yang
pernah diungkap Buya Hamka dalam buku tersebut:
“Seketika
terjadi Pemilihan Umum , orang telah menyebut-nyebut kembali yang
baru lalu, untuk alat kampanye, nama “Wahabi.” Ada yang
mengatakan bahwa Masyumi itu adalah Wahabi, sebab itu jangan pilih
orang Masyumi. Pihak komunis pernah turut-turut pula menyebut-nyebut
Wahabi dan mengatakan bahwa Wahabi itu dahulu telah datang ke
Sumatera. Dan orang-orang Sumatera yang memperjuangkan Islam di tanah
Jawa ini adalah dari keturunan kaum Wahabi.
Memang
sejak abad kedelapan belas, sejak gerakan Wahabi timbul di
pusat tanah Arab, nama Wahabi itu telah menggegerkan
dunia. Kerajaan Turki yang sedang berkuasa, takut kepada Wahabi.
Karena Wahabi adalah, permulaan kebangkitan bangsa Arab, sesudah
jatuh pamornya, karena serangan bangsa Mongol dan Tartar ke Baghdad.
Dan Wahabi pun ditakuti oleh bangsa-bangsa penjajah, karena apabila
dia masuk ke suatu negeri, dia akan mengembangkan mata penduduknya
menentang penjajahan. Sebab faham Wahabi ialah meneguhkan kembali
ajaran Tauhid yang murni, menghapuskan segala sesuatu yang akan
membawa kepada syirik. Sebab itu timbullah perasaan tidak ada tempat
takut melainkan Allah. Wahabi adalah menentang keras kepada Jumud,
yaitu memahamkan agama dengan membeku. Orang harus kembali kepada
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Ajaran
ini telah timbul bersamaan dengan timbulnya kebangkitan revolusi
Prancis di Eropa. Dan pada masa itu juga “infiltrasi” dari
gerakan ini telah masuk ke tanah Jawa. Pada tahun 1788 di zaman
pemerintahan Paku Buwono IV, yang lebih terkenal dengan gelaran
“Sunan Bagus,” beberapa orang penganut faham Wahabi telah datang
ke tanah Jawa dan menyiarkan ajarannya di negeri ini. Bukan saja
mereka itu masuk ke Solo dan Yogya, tetapi mereka pun meneruskan juga
penyiaran fahamnya di Cirebon, Bantam dan Madura. Mereka mendapat
sambutan baik, sebab terang anti penjajahan.
Sunan
Bagus sendiri pun tertarik dengan ajaran kaum Wahabi. Pemerintah
Belanda mendesak agar orang-orang Wahabi itu diserahkan kepadanya.
Pemerintah Belanda cukup tahu, apakah akibatnya bagi penjajahannya,
jika faham Wahabi ini dikenal oleh rakyat.
Padahal
ketika itu perjuangan memperkokoh penjajahan belum lagi selesai.
Mulanya Sunan tidak mau menyerahkan mereka. Tetapi mengingat
akibat-akibatnya bagi Kerajaan-kerajaan Jawa, maka ahli-ahli kerajaan
memberi advis kepada Sunan, supaya orang-orang Wahabi itu diserahkan
saja kepada Belanda. Lantaran desakan itu, maka mereka pun ditangkapi
dan diserahkan kepada Belanda. Oleh Belanda orang-orang itu pun
diusir kembali ke tanah Arab.
Tetapi
di tahun 1801, artinya 12 tahun di belakang, kaum Wahabi datang lagi.
Sekarang bukan lagi orang Arab, melainkan anak Indonesia sendiri,
yaitu anak Minangkabau. Haji Miskin Pandai Sikat (Agam) Haji
Abdurrahman Piabang (Lubuk Limapuluh Koto), dan Haji Mohammad Haris
Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar).
Mereka
menyiarkan ajaran itu di Luhak Agam (Bukittinggi) dan banyak beroleh
murid dan pengikut. Diantara murid mereka ialah Tuanku Nan Renceh
Kamang. Tuanku Samik Empat Angkat. Akhirnya gerakan mereka itu meluas
dan melebar, sehingga terbentuklah “Kaum Paderi” yang terkenal.
Di antara mereka ialah Tuanku Imam Bonjol. Maka terjadilah “Perang
Paderi” yang terkenal itu. Tiga puluh tujuh tahun lamanya mereka
melawan penjajahan Belanda.
Bilamana
di dalam abad ke delapan belas dan Sembilan belas gerakan Wahabi
dapat dipatahkan, pertama orang-orang Wahabi dapat diusir dari Jawa,
kedua dapat dikalahkan dengan kekuatan senjata, namun di awal abad
kedua puluh mereka muncul lagi!
Di
Minangkabau timbullah gerakan yang dinamai “Kaum Muda.” Di Jawa
datanglah K.H. A. Dahlan dan Syekh Ahmad Soorkati. K.H.A. Dahlan
mendirikan “Muhammadiyah.” Syekh Ahmad Soorkati dapat membangun
semangat baru dalam kalangan orang-orang Arab. Ketika dia mulai
datang, orang Arab belum pecah menjadi dua, yaitu Arrabithah Alawiyah
dan Al-Irsyad. Bahkan yang mendatangkan Syekh itu ke mari adalah dari
kalangan yang kemudiannya membentuk Ar-Rabithah Adawiyah.
Musuhnya
dalam kalangan Islam sendiri, pertama ialah Kerajaan Turki. Kedua
Kerajaan Syarif di Mekkah, ketiga Kerajaan Mesir. Ulama-ulama
pengambil muka mengarang buku-buku buat “mengafirkan” Wahabi.
Bahkan ada di kalangan Ulama itu yang sampai hati mengarang buku
mengatakan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab pendiri faham ini adalah
keturunan Musailamah Al Kazhab!
Pembangunan
Wahabi pada umumnya adalah bermazhab Hambali, tetapi faham itu juga
dianut oleh pengikut Mazhab Syafi’i, sebagai kaum Wahabi
Minangkabau. Dan juga penganut Mazhab Hanafi, sebagai kaum Wahabi di
India.
Sekarang
“Wahabi” dijadikan alat kembali oleh beberapa golongan tertentu
untuk menekan semangat kesadaran Islam yang bukan surut ke belakang
di Indonesia ini, melainkan kian maju dan tersiar. Kebanyakan orang
Islam yang tidak tahu di waktu ini, yang dibenci bukan lagi pelajaran
wahabi, melainkan nama Wahabi.
Ir.
Dr. Sukarno dalam “Surat-Surat dari Endeh”nya kelihatan bahwa
fahamnya dalam agama Islam adalah banyak mengandung anasir Wahabi.
Kaum
komunis Indonesia telah mencoba menimbulkan sentiment Ummat Islam
dengan membangkit-bangkit nama Wahabi. Padahal seketika terdengar
kemenangan gilang-gemilang yang dicapai oleh Raja Wahabi Ibnu Saud,
yang mengusir kekuasaan keluarga Syarif dari Mekkah. Ummat Islam
mengadakan Kongres Besar di Surabaya dan mengetok kawat mengucapkan
selamat atas kemenangan itu (1925). Sampai mengutus dua orang
pemimpin Islam dari Jawa ke Mekkah, yaitu H.O.S. Cokroaminoto dan
K.H. Mas Mansur. Dan Haji Agus Salim datang lagi ke Mekkah tahun
1927.
Karena
tahun 1925 dan tahun 1926 itu belum lama, baru lima puluh tahun lebih
saja, maka masih banyak orang yang dapat mengenangkan bagaimana pula
hebatnya reaksi pada waktu itu, baik dari pemerintah penjajahan,
walau dari Ummat Islam sendiri yang ikut benci kepada Wahabi, karena
hebatnya propaganda Kerajaan Turki dan Ulama-ulama pengikut Syarif.
Sekarang
pemilihan umum yang pertama sudah selesai. Mungkin menyebut-nyebut
“Wahabi” dan membusuk-busukkannya ini akan disimpan dahulu untuk
pemilihan umum yang akan datang. Dan mungkin juga propaganda ini
masuk ke dalam hati orang, sehingga gambar-gambar “Figur Nasional,”
sebagai Tuanku Imam Bonjol dan K.H.A. Dahlan diturunkan dari dinding.
Dan mungkin perkumpulan-perkumpulan yang memang nyata kemasukan faham
Wahabi seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan lain-lain diminta
supaya dibubarkan saja.
Kepada
orang-orang yang membangkit-bangkit bahwa pemuka-pemuka Islam dari
SUmmatera yang datang memperjuangkan Islam di Tanah Jawa ini adalah
penganut atau keturunan kaum Wahabi, kepada mereka orang-orang dari
SUmmatera itu mengucapkan banyak-banyak terima kasih! Sebab kepada
mereka diberikan kehormatan yang begitu besar!
Sungguh
pun demikian, faham Wahabi bukanlah faham yang dipaksakan oleh
Muslimin, baik mereka Wahabi atau tidak. Dan masih banyak yang tidak
menganut faham ini dalam kalangan Masyumi. Tetapi pokok perjuangan
Islam, yaitu hanya takut semata-mata kepada Allah dan anti kepada
segala macam penjajahan, termasuk Komunis, adalah anutan dari mereka
bersama!”
Dari
paparan tersebut, jelaslah bahwa Buya HAMKA berhasil menelisik akar
terjadinya fitnah yang dialamatkan kepada Wahabi. Ini menandakan
vonis “Faham Hitam” yang dituduhkan kepada Wahabi pada dasarnya
adalah modus lama namun didesain dengan gaya baru yang disesuaikan
dengan kepentingan dan arahan yang disetting oleh para Think Tank
“Gurita Kolonialisme Abad 21.”
Maka
perhatikanlah apa yang pernah diutarakan oleh Buya HAMKA dalam
pembahasan Islam dan Majapahit berikut ini:
“Memang,
di zaman Jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak
bersatu! Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama dari jiwa
persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya,
untuk menguatkan kekuasaannya.”
“Tahukah
tuan, bahwasanya tatkala Pangeran Dipenogero, Amirul Mukminin Tanah
Jawa telah dapat ditipu dan perangnya dikalahkan, maka Belanda
membawa Pangeran Sentot Ali Basyah ke Minangkabau buat mengalahkan
Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah Sentot merasa dirinya tertipu,
sebab yang diperanginya itu adalah kawan sefahamnya dalam Islam, dan
setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan ikatan
serbannya sama dengan ikatan serban Ulama Minangkabau, sudi menerima
Sentot sebagai “Amir” Islam di Minangkabau? Teringatkah tuan,
bahwa lantaran rahasia bocor dan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan
ke Bengkulu dan di sana beliau berkubur buat selama-lamanya?”
“Maka
dengan memakai faham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan
Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa
Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah
pangkal bala dan bencana!”
Kiranya,
sepeninggal HAMKA, alangkah laiknya jika Ummat Islam masih kenal dan
bisa mengimplementasikan apa yang diutarakan Buya HAMKA dalam bukunya
tersebut. Dengan demikian, niscaya Ummat Islam tidak perlu sampai
menjadi keledai yang terjerembab dalam lubang yang dibuat oleh
musuh-musuh Islam dengan modus yang sama tetapi dalam nuansa yang
berbeda. Wallahu A’lam. [voa-islam.com]
Sabtu, 03 Dec 2011

No comments:
Post a Comment